
Sebenarnya cukup lama saya tidak mendengarkan perumpamaan tersebut, hingga kemarin malam atau tepatnya subuh tadi seorang teman kembali bercerita dan menggunakan analogi tersebut. Analogi cinta-pasir yang hampir dipastikan pernah didengarkan oleh semua pencinta dan pemuja cinta. Tapi ada yang sedikit berbeda dengan analogi itu kemarin. Begini penggalan kata-kata yang cukup membuat saya berdecak dan bergetar :
“ Cinta itu seperti pasir, semakin erat kamu menggenggamnya maka akan semakin berhamburan pasir yang ada di genggamanmu. Jadi jangan coba untuk menggenggamnya terlalu erat! Tadah saja “ia” di atas telapak tanganmu, karena pasti “ia” tak akan ke mana-mana kecuali tertiup angin badai. Tapi bukankah kamu memiliki 2 tangan? Di situlah guna tanganmu yang satunya, untuk menjaga “ia” agar tak tertiup oleh topan. ”
Seketika setelah mendengar perumpaman yang ditambahi oleh pemikiran pribadi dari pencerita, saya sedikit tertegun dan terdiam sesaat. Perumpamaan baru ini merupakan permenungan dan penemuan yang manis. Cinta memang hanya bisa kita tadah dan tak bisa kita kekang dengan genggaman karena hanya akan membuatnya berhamburan. Tapi kita bisa menjaganya dengan tangan yang satunya, seperti cangkang dan selimut hangat yang akan menyelamatkannya dari badai dan topan.
Saya hanya sekedar membagikan cerita manis yang menginspirasi saya pagi ini dengan harapan akan ada tangan-tangan lain yang juga tersentuh dan turut membantu menghalangi badai dan topan yang ada di bumi kita tercinta ini. Menyelamatkan cinta yang masih tersisa dengan melonggarkan genggaman, serta bersedia menjadi tameng dari keganasan taufan yang ada di luar sana.
Ingat! Bukan dengan genggaman kokoh namun dengan kelembutan dan penuh kehangatan! Semoga kita masing-masing bisa menadah dengan baik pasir-pasir itu dan menjaganya tetap utuh dalam genggaman kita dan membagikannya.